Lima mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) telah melakukan penelitian yang mengungkap temuan menarik tentang praktik pesugihan di Gunung Kawi. Salah satu temuan penting adalah hubungan antara praktik pesugihan Gunung Kawi dan masalah kesehatan mental, khususnya psikosis pada pelaku pesugihan.

Tim ekspedisi dan penelitian yang dikenal sebagai Artha Kawi telah menemukan adanya keterkaitan yang mencolok antara praktik pesugihan Gunung Kawi dan kecenderungan masalah kesehatan mental, terutama psikosis pada pelaku pesugihan. Harun Rasyid, salah satu peneliti, mengungkapkan, “Secara umum, hasil penelitian kami menunjukkan adanya hubungan antara praktik pesugihan Gunung Kawi dan masalah kesehatan mental, terutama psikosis pada pelaku pesugihan Gunung Kawi.”

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, masalah kesehatan mental atau gangguan mental adalah kondisi yang dapat memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi dari semuanya. Gangguan mental ini bisa bersifat ringan hingga parah dan dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk interaksi sosial, pekerjaan, dan hubungan keluarga.

Penelitian ini juga mencermati konsep pengorbanan atau harta dibalas nyawa dalam praktik pesugihan Gunung Kawi. Harun menyatakan bahwa kesimpulan ini didasarkan pada pengalaman yang ditemui dari pelaku ritual pesugihan. Setiap pelaku ritual diharuskan untuk memberikan pengorbanan, tetapi jenis pengorbanan tersebut bervariasi tergantung pada tujuan dan motif ritual yang dijalani. Biasanya, pelaku ritual menginginkan kekayaan, pangkat, atau kesuksesan dalam bisnis.

Tim Artha Kawi juga menemukan bahwa informan yang mereka temui menjelaskan bahwa setiap individu akan ditanya tentang keinginan atau tujuan mereka dalam menjalani ritual. Jika mereka menginginkan kekayaan, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh pembimbing ritual. Jika harapan mereka terkabul dalam waktu satu tahun, pelaku ritual harus menggelar selamatan sebagai bentuk pengorbanan, biasanya pada malam Jumat Legi atau malam 1 Suro.

Harun menambahkan bahwa tumbal atau pengorbanan bagi pelaku ritual pesugihan Gunung Kawi harus dilakukan sekali dalam satu tahun. Sebagian besar pelaku ritual berasal dari luar Gunung Kawi dan datang ke Keraton Gunung Kawi pada malam Jumat Legi atau malam 1 Suro dan juga pada Hari Raya Idul Fitri.

Temuan ini memberikan wawasan yang menarik tentang praktik pesugihan di Gunung Kawi dan potensi dampaknya terhadap kesehatan mental pelaku. Penelitian ini menyoroti pentingnya pemahaman lebih dalam tentang praktik pesugihan dan dampaknya pada individu yang terlibat.