Seorang dosen mata kuliah Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA) mengusulkan perlunya fikih antistunting atau antitengkes dalam mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia dengan menggunakan hukum agama. Menurut dosen tersebut, syariat kurban dapat dioptimalkan untuk meningkatkan asupan gizi masyarakat luas dan melawan stunting.

Stunting merupakan kondisi gizi buruk yang dialami oleh anak-anak akibat kurangnya asupan gizi, infeksi, dan stimulasi yang tidak memadai. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa sebanyak 146,2 juta atau 22 persen anak di bawah usia 5 tahun mengalami gizi buruk di Indonesia, yang menempatkan negara ini di peringkat keenam di kawasan Asia Tenggara.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting pada tahun 2022 mencapai 21,6 persen. Tingkat prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan angka 35,3 persen, sementara Provinsi Bali memiliki tingkat prevalensi terendah sebesar 8 persen. Eksan, dosen ASWAJA, menjelaskan bahwa daging hewan kurban di Indonesia sebenarnya mencukupi untuk mengatasi masalah gizi buruk ini.

Kementerian Pertanian mencatat bahwa setiap tahun kebutuhan hewan kurban nasional mencapai hampir 2 juta ekor, dengan pemotongan hewan kurban pada tahun 2022 mencapai 1,81 juta ekor. Jumlah ini terdiri dari sapi, kambing, domba, dan kerbau. Sementara itu, jumlah anak yang berisiko mengalami stunting mencapai 4,7 juta anak.

Eksan menegaskan bahwa masing-masing anak berisiko stunting dapat menerima sebanyak 18 kilogram daging dari hewan kurban yang mencapai 695 ribu ekor. Menurutnya, ini sudah melebihi rata-rata konsumsi daging sapi di dunia. Ia juga menyoroti pentingnya memberikan prioritas kepada ibu hamil dan anak-anak dalam distribusi daging hewan kurban. Eksan mengusulkan agar pemerintah bekerja sama dengan ormas keagamaan, pesantren, dan masyarakat muslim untuk menyediakan ruang pembeku guna menyimpan daging bagi para ibu hamil dan anak.

Eksan juga menyoroti aspek hukum dalam fikih antistunting ini. Ia menyatakan bahwa otoritas keagamaan perlu menjawab pertanyaan tentang membagikan daging hewan kurban di luar bulan Haji. Selain itu, Eksan mengingatkan bahwa penyimpanan daging kurban boleh melampaui tiga hari sesuai dengan kitab As-Syarbini. Dalam konteks ini, dosen ASWAJA tersebut berharap gerakan keagamaan ini dapat dikelola sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia dan kesehatan di Indonesia.