Sidang terbuka promosi doktor hukum di Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci, Tangerang, menjadi sorotan ketika Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, seorang dosen terkemuka dari Jurusan Hukum Bisnis BINUS, diundang sebagai penguji dalam sidang tersebut. Promovenda yang diuji adalah Hillary Brigitta Lasut.
Dalam sidang yang dihadiri oleh lebih dari 2000 undangan, termasuk tokoh-tokoh penting seperti Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan, Bupati Talaud Elly Engelbert Lasut, dan lainnya, Hillary berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penerapan Konsep Restorative Justice Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pasca Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV2016.”
Dalam disertasinya, Hillary Brigitta Lasut mengusulkan penerapan konsep restorative justice pada tahap pra-ajudikasi, yakni di kelembagaan kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Fokus utama dari restorative justice ini adalah untuk menyelamatkan kerugian keuangan negara dengan cara yang optimal. Ide ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 yang mengubah paradigma Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor, mengubah “potential loss” menjadi “actual loss.” Hillary berpendapat bahwa pendekatan pemidanaan tradisional tidak lagi relevan, terutama pada Pasal 4 yang seharusnya sejalan dengan Pasal 2 dan 3 pasca putusan MK tersebut. Oleh karena itu, ia mengusulkan penyelesaian perkara korupsi melalui jalur perdata yang lebih spesifik.
Namun, Hillary juga membatasi penggunaan restorative justice hanya pada kasus tipikor dengan nilai maksimal Rp1 miliar. Dia menegaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus tetap menjadi lembaga netral dalam menghitung hasil audit investigasi kerugian aktual yang menentukan apakah ada kerugian negara/daerah atau tidak. Untuk menerapkan restorative justice, diperlukan revisi pada peraturan kepolisian dan kejaksaan yang belum sepenuhnya mengakomodasi penanganan kasus tipikor melalui pendekatan ini.
Dalam kesempatan ini, Dr. Reza Zaki mengajukan pertanyaan mengenai pandangan Hillary terkait penerapan konsep fructum sceleris dalam disertasinya. Hillary, yang merupakan doktor hukum termuda lulusan FH UPH, menjelaskan bahwa fructum sceleris adalah terobosan pertama di Indonesia yang dapat disatukan dengan kasus tipikor. Namun, seringkali pemulihan kerugian keuangan negara dari pelaku tidak sampai kepada korban yang sebenarnya, melainkan masuk ke dalam program pemerintah lainnya. Hillary ingin menjadikan proses pemulihan aset yang efektif bagi korban sebagai manifestasi dari restorative justice.
Dengan banyaknya tokoh-tokoh penting yang hadir dalam sidang tersebut, ini menunjukkan seberapa besar perhatian terhadap ide-ide baru dalam penegakan hukum di Indonesia.
Tinggalkan Balasan