Tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi isu yang terus memantik perdebatan. Di tengah tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi—pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—dosen kerap menghadapi tantangan besar terkait kesejahteraan yang belum memadai.

Kompleksitas Peran Dosen dan Kesenjangan Kesejahteraan
Dosen bukan hanya pendidik di ruang kelas, tetapi juga peneliti dan pembimbing mahasiswa. Namun, besarnya tanggung jawab ini tidak selalu diimbangi dengan penghargaan yang layak. Dosen ASN di Kemendikbudristek, misalnya, sering kali dikecualikan dari penerimaan tunjangan kinerja.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2020 serta Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024, kesejahteraan dosen menjadi fokus perhatian pemerintah. Namun, pengecualian dosen ASN dari tukin menimbulkan kesenjangan dibandingkan pegawai administratif atau dosen ASN di kementerian lain seperti Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan, yang memiliki hak atas tunjangan tersebut.

Tiga Narasi Pengecualian Tukin untuk Dosen

  1. Dualisme Sistem Tunjangan
    Pemerintah berpendapat bahwa dosen ASN Kemendikbudristek telah menerima tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan (bagi profesor). Namun, tunjangan ini hanya diberikan kepada dosen bersertifikasi pendidik, sehingga banyak dosen, terutama yang baru memulai karier, tidak mendapat manfaat serupa.
  2. Alokasi Anggaran
    Dana pendidikan yang telah mendapatkan porsi 20% dari APBN dianggap lebih prioritas untuk program-program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau pembangunan infrastruktur sekolah, sehingga alokasi tukin untuk dosen dipandang membebani anggaran.
  3. Prioritas yang Keliru
    Pegawai administratif menerima tukin sebagai insentif atas kinerja operasional kementerian, sedangkan dosen ASN dianggap telah memiliki kompensasi melalui tunjangan profesi, meskipun sifat dan cakupannya berbeda dengan tukin.

Dampak Ketidakhadiran Tukin untuk Dosen
Minimnya tunjangan kinerja berdampak signifikan pada kualitas riset dan pendidikan tinggi di Indonesia:

  • Penurunan Kualitas Riset: Keterbatasan finansial untuk publikasi jurnal internasional dan partisipasi dalam konferensi global menghambat dosen menghasilkan karya ilmiah berkualitas.
  • Brain Drain: Ketidakadilan dalam pemberian tukin mendorong dosen berbakat untuk meninggalkan profesi atau mencari peluang di luar negeri, sehingga potensi inovasi dalam negeri menurun drastis.

Harapan di Balik Kebijakan Baru
Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 menjadi peluang bagi pemerintah untuk merevisi pendekatan terhadap kesejahteraan dosen. Pengakuan terhadap peran sentral dosen dalam membangun bangsa harus diwujudkan melalui kebijakan yang lebih adil.

Investasi pada kesejahteraan dosen tidak hanya meningkatkan kualitas lulusan, tetapi juga mempercepat inovasi riset yang menjadi pilar pembangunan nasional. Dengan penghargaan yang layak, dosen akan mampu mendukung visi Indonesia Emas 2045, menciptakan generasi muda yang siap bersaing di panggung global.