Pada Rabu (14/6/2023), Titi Anggraini, seorang dosen hukum pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), memberikan prediksi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan yang menginginkan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Titi memperkirakan bahwa MK akan menolak permohonan tersebut, namun tidak akan memberikan keputusan tanpa arahan.
Titi Anggraini menyatakan bahwa prediksinya didasarkan pada fakta-fakta persidangan dan penelitian mengenai konstitusi, pemilu, dan demokrasi. Titi juga telah menjadi ahli dari pihak terkait dalam persidangan kasus ini dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Menurut Titi, MK kemungkinan akan menolak gugatan ini dan menganggap pemilihan sistem pemilu sebagai kebijakan hukum yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang. Dia menjelaskan bahwa penggunaan sistem proporsional terbuka tidak melanggar norma-norma dalam UUD 1945. Meskipun UUD 1945 tidak menentukan sistem pemilihan legislatif secara spesifik, itu tidak berarti sistem pemilihan yang konstitusional harus menjadi proporsional tertutup. Titi menjelaskan bahwa penentuan sistem pemilu adalah kewenangan penuh lembaga pembentuk undang-undang.
Meskipun Titi memprediksi MK akan menolak gugatan tersebut, dia yakin bahwa hakim konstitusi tidak akan meninggalkan keputusan tanpa arahan. Dia meyakini bahwa MK akan memberikan sejumlah panduan bagi lembaga pembentuk undang-undang ketika memilih sistem pemilu. Titi menyebutkan bahwa MK kemungkinan akan meminta lembaga tersebut untuk melakukan simulasi sebelum memutuskan sistem pemilu yang akan digunakan, serta memberikan ruang partisipasi publik yang bermakna.
Putusan MK atas gugatan ini akan dibacakan pada Kamis (15/6/2023) pagi. Gugatan uji materi ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono dari PDIP dan lima koleganya. Gugatan ini telah menciptakan kehebohan di dunia politik-hukum sejak akhir 2022, dengan munculnya pendukung sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Sistem proporsional tertutup hanya memungkinkan pemilih untuk mencoblos partai politik, sementara calon anggota legislatif (caleg) dengan nomor urut teratas akan memenangkan kursi di parlemen. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg dan partai yang diinginkan, dengan caleg yang mendapatkan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.
Pakar politik memiliki pandangan yang beragam mengenai sistem mana yang paling tepat digunakan untuk pemilu di Indonesia ke depan. Beberapa menganggap sistem proporsional terbuka cocok, sementara yang lain berpendapat bahwa sistem proporsional tertutup lebih baik. Terdapat juga pandangan bahwa sistem proporsional tertutup dapat diadopsi asalkan perbaikan internal partai politik dilakukan terlebih dahulu.
Tinggalkan Balasan