Dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Dwi Sendi Priyono, bersama mahasiswa Hapiz Al-Khairi dan Tim MBKM, berperan krusial dalam membantu aparat penegak hukum mengungkap kasus perdagangan cula badak senilai Rp245 miliar. Mereka bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Polda Sumatera Selatan, menggunakan DNA forensik satwa liar untuk membongkar jaringan perdagangan ilegal ini.
Operasi tersebut berhasil menangkap tersangka ZA, seorang pria berusia 60 tahun dari Palembang, yang ditangkap saat melakukan transaksi jual beli cula badak dan pipa gading gajah di Palembang. Penyelidikan dimulai dari pemantauan aktivitas perdagangan satwa liar di media sosial oleh Ditjen Gakkum. Petugas kemudian melakukan transaksi palsu dan menemukan satu cula badak dan satu pipa gading gajah. Penggeledahan lebih lanjut mengungkap tujuh cula badak tambahan dan tiga pipa gading gajah.
ZA mengungkapkan bahwa total berat cula badak tersebut mencapai tujuh kilogram, dengan harga jual sekitar Rp35 juta per gram, sehingga total nilainya mencapai Rp245 miliar. Kasus ini dianggap sebagai yang terbesar di Indonesia dalam satu dekade terakhir dan diduga memiliki keterkaitan dengan jaringan Sunendi, pemburu badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
Sendi menegaskan, “Kasus ini bukan hanya mencerminkan tantangan dalam konservasi keanekaragaman hayati, tetapi juga ancaman serius bagi keberlanjutan spesies terancam punah dan ekosistem global.” Menurutnya, kolaborasi antara akademisi dan penegak hukum menjadi sangat penting untuk menangani masalah ini secara efektif.
ZA kini menghadapi jeratan Pasal 40 A Ayat 1 huruf F dan Pasal 21 ayat (2) Huruf C UU Nomor 32 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. “Dirjen Gakkum akan bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengembangkan kasus ini, yang diduga melibatkan jaringan internasional perdagangan ilegal satwa langka yang dilindungi,” kata Sendi.
Selain dari sisi hukum, Sendi menekankan pentingnya peningkatan kesadaran publik mengenai konservasi satwa liar. “Edukasi masyarakat tentang keanekaragaman hayati bisa menjadi benteng dalam memerangi kejahatan lingkungan ini,” tambahnya.
Kerja sama yang berkelanjutan antara akademisi dan penegak hukum, serta peningkatan usaha edukasi kepada masyarakat, diharapkan dapat menjadi kunci dalam melindungi keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang.
Tinggalkan Balasan