Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Dr. Fachrizal Afandi, mengkritisi arah pembaruan hukum pidana Indonesia yang dinilai masih sarat pendekatan represif. Kritik tersebut disampaikannya dalam dua forum akademik internasional di Australia: Indonesia Council Open Conference (ICOC) di University of Melbourne dan Workshop on Indonesian Law Update di University of New South Wales (UNSW) Sydney.

Dalam konferensi ICOC yang digelar 7–10 Juli 2025, Fachrizal memaparkan dua makalah. Pertama, “Assessing Indonesian New Criminal Code: Are We on the Right Track for Human Rights Protection?” yang menyoroti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Ia mengungkap masih banyak pasal yang berpotensi mengekang kebebasan sipil dan memperkuat kriminalisasi terhadap kelompok rentan.

Makalah kedua, “Evaluating Restorative Justice in the Indonesian Prosecution Service: A Shift Towards Efficiency Over Victim Protection”, mengkritik implementasi keadilan restoratif oleh Kejaksaan RI yang lebih menitikberatkan efisiensi penyelesaian perkara ketimbang perlindungan korban.

Pada forum di UNSW Sydney, 11 Juli 2025, Fachrizal mempresentasikan makalah ketiga berjudul “Between Power and Scrutiny: The Fight to Reform Indonesia’s Criminal Procedure” yang membahas Rancangan KUHAP (RKUHAP) 2025. Ia menilai pembahasannya terkesan terburu-buru dan belum mencerminkan prinsip due process of law serta perlindungan HAM. Fachrizal menyoroti potensi perluasan kewenangan aparat penegak hukum tanpa pengawasan yang memadai.

“RKUHAP yang baru ini berpotensi menjadi kemunduran bagi prinsip negara hukum,” tegasnya.

Menanggapi hal tersebut, Dr. Artha Febriansyah dari Universitas Sriwijaya menekankan pentingnya penguatan evaluasi struktur kekuasaan dalam sistem peradilan pidana. Ia mengingatkan bahwa tanpa pengawasan sejak dini, revisi hukum acara bisa menjadi alat represi yang sah secara hukum.

Forum internasional tersebut juga dimanfaatkan untuk menjajaki kolaborasi riset lintas negara. Fachrizal mengungkapkan bahwa kecenderungan perluasan kekuasaan aparat penegak hukum tanpa akuntabilitas bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara Asia lainnya. Menurutnya, kolaborasi riset dapat membantu memahami dinamika regional dan memperkuat strategi advokasi bersama.

Partisipasi akademisi hukum Indonesia dalam forum internasional ini menjadi bagian dari upaya internasionalisasi tridarma perguruan tinggi dan diplomasi akademik. Fachrizal berharap hasil diskusi ini dapat memberi masukan konstruktif terhadap pembahasan RKUHAP dan arah hukum pidana nasional.

“Ini bukan sekadar soal pasal, tapi soal ke mana sistem peradilan pidana kita akan dibawa: ke arah keadilan atau ke arah kekuasaan tanpa batas,” pungkasnya.