Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada level 6 persen hingga akhir Desember 2024. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tekanan inflasi, fluktuasi nilai tukar Rupiah, dan kebijakan moneter ketat di negara maju. Kebijakan tersebut memberikan dampak positif sekaligus tantangan bagi sektor ekonomi Indonesia.

Stabilitas Ekonomi dan Investasi Asing
Menurut Listya Endang Artiani, dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan ini bertujuan menjaga stabilitas ekonomi, termasuk mengendalikan inflasi inti yang mencapai 4,2 persen pada kuartal ketiga 2024. Kebijakan ini juga memperkuat daya tarik investasi asing di pasar portofolio, dengan aliran modal mencapai Rp 80 triliun, terutama pada Surat Berharga Negara (SBN).

Selain itu, kebijakan ini berhasil menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS di kisaran Rp15.500, meskipun ada tekanan global. Namun, dampaknya tidak sepenuhnya positif.

Dampak Positif Suku Bunga Acuan

  1. Stabilitas Inflasi: Inflasi terkendali pada kisaran 3 persen, memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk merencanakan strategi jangka panjang.
  2. Daya Tarik Investasi: Spread bunga yang menarik dibandingkan negara lain meningkatkan minat investor asing.
  3. Stabilitas Rupiah: Nilai tukar Rupiah yang stabil mengurangi risiko kenaikan biaya impor dan menjaga daya saing.

Tantangan Ekonomi yang Muncul

  1. Beban Korporasi: Biaya pinjaman yang tinggi memperlambat ekspansi dunia usaha, dengan pertumbuhan kredit modal kerja turun menjadi 7,2 persen pada 2024.
  2. Konsumsi Rumah Tangga: Pertumbuhan konsumsi melambat menjadi 4,7 persen, lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi.
  3. Risiko Stagflasi: Kombinasi inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi yang melambat menjadi ancaman bagi ketenagakerjaan.

Dampak pada Berbagai Sektor

  • Properti: Suku bunga tinggi menaikkan suku bunga KPR hingga 10-11 persen, menurunkan penjualan properti residensial sebesar 3,5 persen (YoY).
  • Industri Manufaktur: Aktivitas manufaktur stagnan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) rata-rata 50,5 pada 2024.
  • UMKM: Kredit usaha mikro tumbuh hanya 6,2 persen, jauh di bawah rata-rata historis 10-12 persen.
  • Pariwisata: Kunjungan wisatawan mancanegara hanya mencapai 7 juta, jauh dibawah target pra-pandemi sebesar 15 juta orang.
  • Keuangan dan Perbankan: Risiko kredit bermasalah (NPL) naik menjadi 2,9 persen, sementara pertumbuhan kredit melambat menjadi 8-9 persen.

Prospek dan Harapan
Pemerintah berupaya memitigasi dampak ini dengan insentif pajak, peningkatan plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan pembangunan infrastruktur logistik. Selain itu, promosi pariwisata premium dan pengembangan energi terbarukan diharapkan dapat meningkatkan kontribusi sektor tersebut terhadap PDB di tahun mendatang.