Purwokerto — Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Muhammad Yamin, menyebut kesepakatan perdagangan Indonesia-Amerika Serikat sebagai bentuk keberhasilan diplomasi pemerintah. Hal ini menyusul pengumuman Presiden AS Donald Trump yang menyatakan penurunan tarif impor produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen, serta dibukanya pasar Indonesia secara penuh bagi produk AS.

“Ini bisa dianggap keberhasilan diplomasi, terutama setelah tarif impor dari AS terhadap produk Indonesia diturunkan,” ujar Yamin, dosen Hubungan Internasional Unsoed, Rabu (16/7).

Meski demikian, ia mengingatkan agar keberhasilan tersebut tidak disambut dengan euforia berlebihan. Menurutnya, Indonesia perlu menjaga keseimbangan dalam perdagangan internasional dengan tidak terlalu bergantung pada satu mitra seperti Amerika Serikat.

“Potensi pasar AS memang besar, tapi kita juga harus memperluas pasar ke negara lain, mengingat defisit perdagangan dengan China, Jepang, dan Korea masih tinggi,” jelasnya.

Yamin juga menilai keberhasilan Indonesia dalam menurunkan tarif perdagangan dengan Uni Eropa melalui skema tarif nol persen sebagai langkah strategis untuk mengantisipasi kebijakan sepihak negara seperti AS.

Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa penetapan tarif secara sepihak oleh AS masih menyisakan catatan penting dalam konteks politik luar negeri dan perdagangan global.

“Penetapan tarif semacam ini sering kali hanya menjadi alat tekanan diplomatik untuk memaksa negara lain bernegosiasi,” tambahnya, mengacu pada dinamika dagang AS–China yang sempat memanas.

Kesepakatan antara AS dan Indonesia tersebut, menurut pernyataan Trump di media sosial Truth Social, tercapai melalui negosiasi langsung dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Trump menyatakan bahwa untuk pertama kalinya, pasar Indonesia dibuka secara penuh untuk produk Amerika.