Penghapusan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) sebesar 20 persen dianggap berpotensi meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilihan umum. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyebut bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hal ini akan membuka peluang bagi munculnya calon alternatif yang berasal dari masyarakat.
“Keputusan ini memungkinkan calon alternatif dari rakyat untuk ikut serta, memberikan ruang lebih luas bagi partisipasi pemilih yang sebelumnya merasa tidak memiliki pilihan,” ujar Herdiansyah, anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Minggu (5/1/2025).
Calon Alternatif dan Tantangan Oligarki
Herdiansyah menambahkan, Presidential Threshold sebelumnya sering dimanfaatkan oleh oligarki untuk menutup akses bagi calon alternatif. Dengan ambang batas minimal 20 persen kursi DPR, peluang calon independen atau dari partai kecil menjadi sangat terbatas.
“Ini adalah cara oligarki mempertahankan kekuasaan dengan menutup pintu bagi calon lain,” tegasnya.
Senada dengan itu, Haykal dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan bahwa penghapusan ambang batas ini memungkinkan setiap partai politik peserta pemilu untuk mengusung calon presiden, sehingga jumlah kandidat akan meningkat.
“Namun, banyaknya calon tidak selalu berarti partisipasi pemilih akan otomatis naik. Faktor seperti kinerja partai, sosok kandidat, dan program yang ditawarkan juga berperan besar,” jelas Haykal.
Dampak pada Partisipasi Pemilih
Meski demikian, Haykal menilai meningkatnya jumlah calon dapat menambah antusiasme masyarakat untuk mencari tahu lebih banyak tentang pemilu. Hal ini menjadi langkah awal untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Pada Pemilu 2024, tingkat partisipasi pemilih tercatat di atas 81 persen, dengan 164.227.475 pemilih.
Keputusan MK dan Implikasinya
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa Presidential Threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Menurut Wakil Ketua MK, Saldi Isra, mempertahankan ambang batas ini membatasi jumlah calon presiden dan wakil presiden, yang berpotensi memunculkan calon tunggal.
“Jika ini terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan bergeser dan mengurangi makna kedaulatan rakyat,” ungkap Saldi.
Namun, MK juga mengingatkan agar jumlah pasangan calon yang diusulkan tidak terlalu banyak, meskipun semua partai politik peserta pemilu memiliki hak konstitusional untuk mencalonkan. Dalam revisi UU Pemilu, diperlukan pengaturan agar pelaksanaan pemilu tetap efisien tanpa mengurangi esensi demokrasi.
Kesimpulan
Penghapusan Presidential Threshold membuka peluang baru dalam demokrasi Indonesia. Dengan lebih banyak calon presiden yang bisa diusulkan, partisipasi pemilih diharapkan meningkat, meskipun tantangan seperti pengelolaan jumlah calon tetap menjadi perhatian penting.
Tinggalkan Balasan