Pengaturan karier dosen di Indonesia dinilai dapat menurunkan motivasi para ilmuwan untuk berkiprah di perguruan tinggi. Aturan baru yang diterapkan dianggap menghambat proses berkarier dan peningkatan kesejahteraan dosen, sehingga sulit bagi para akademisi untuk mencapai mimpi berdaya saing internasional. Bahkan, ilmuwan potensial dikhawatirkan akan memilih menetap di luar negeri.
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) telah membentuk tim untuk merumuskan pendapat hukum terkait Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang jabatan fungsional dosen aparatur sipil negara (ASN). Herlambang Perdana Wiratraman, Sekretaris Jenderal ALMI, menyampaikan harapannya agar penyusunan pengaturan karier ini melibatkan partisipasi para dosen dengan mendengarkan aspirasi dan menjadi lebih terbuka. Fachrizal Afandi, anggota ALMI dan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dalam sebuah webinar, menyoroti permasalahan dalam Permenpan RB terbaru terkait jabatan fungsional ASN, terutama dosen. Para ilmuwan berpendapat bahwa aturan ini tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mendorong prestasi ilmuwan Indonesia di tingkat internasional, seperti meraih Nobel, internasionalisasi perguruan tinggi, akreditasi internasional, dan publikasi di jurnal ilmiah bereputasi internasional. Meskipun tujuan utama dari peraturan ini adalah mendukung kemampuan akademisi Indonesia untuk bersaing secara global.
Dalam peraturan baru ini, dosen merasa terkekang karena penghitungan angka kredit selalu dikaitkan dengan aturan negara. Aturan ini tidak hanya berlaku bagi dosen ASN, tetapi juga dosen non-ASN. Jika Permenpan RB Nomor 1/2023 dianggap sebagai undang-undang umum yang mengatur dosen, hal tersebut tidak tepat karena pengaturan dosen tidak mengacu pada Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi.
Fachrizal Afandi menjelaskan bahwa kekacauan ini terjadi karena ada kekeliruan dalam peraturan baru tersebut, terutama dalam hal peran dan fungsi dosen yang berbeda dari ASN lainnya. Para dosen juga mengkhawatirkan karier dosen yang tidak lagi memperbolehkan loncat jabatan. Proses mencapai jabatan guru besar bisa memakan waktu lebih dari 18 tahun. Padahal, dalam Permenpan RB sebelumnya, dosen bisa meloncat jabatan dan mencapai jabatan guru besar setelah minimal 10 tahun menjadi dosen. Kondisi ini membuat Indonesia sulit memiliki profesor muda sehingga tertinggal dari negara lain.
Rimawan Pradiyo, Dosen Fakultas Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, menekankan bahwa tren di perguruan tinggi di dunia adalah memberikan penilaian kinerja dan kenaikan pangkat dosen kepada internal perguruan tinggi, bukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma evaluasi kinerja dosen di perguruan tinggi agar perguruan tinggi bertanggung jawab dalam menjaga kualitasnya.
Proses bisnis akademisi berbeda dengan jabatan fungsional lain dalam birokrasi. Oleh karena itu, sistem penilaian harus mempertimbangkan akumulasi angka kredit, kemungkinan loncat jabatan, dan sesuai dengan proses bisnis akademisi. Selain itu, perbaikan remunerasi dosen juga penting karena saat ini pendapatan dosen jauh di bawah kementerian atau lembaga lainnya. Rimawan Pradiptyo menyoroti bahwa kesejahteraan dosen belum menjadi perhatian serius pemerintah, tidak sebanding dengan fokus yang diberikan pada kinerja dan kualitas. Masalah kesejahteraan dosen ini juga berhubungan dengan rendahnya budaya riset, karena hasil riset tidak secara langsung berdampak pada kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan posisi panitia, konsultan, atau tenaga ahli yang mendapatkan honorarium. Lama kelamaan, profesi dosen pun menjadi pekerjaan sampingan.
Kanti Pertiwi, seorang dosen dari Universitas Indonesia, mengungkapkan hasil survei yang melibatkan 1.200 dosen, yang menunjukkan bahwa kepastian karier dan kesejahteraan dosen menjadi perhatian yang sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 43 persen dosen tetap memiliki pendapatan di bawah Rp 3 juta per bulan. Kanti menyoroti bahwa pemerintah belum memberikan perhatian yang serius terhadap kesejahteraan dosen, berbeda dengan fokus yang diberikan pada kinerja dan kualitas. Situasi ini menciptakan ketidakpuasan dan persepsi bahwa para dosen diperlakukan tidak adil. Dengan adanya Permenpan RB terbaru, kondisi kesejahteraan dosen semakin tidak pasti. Ada indikasi bahwa karier dosen semakin tidak pasti dan proses menuju jabatan guru besar semakin panjang. Kekhawatiran muncul bahwa ketidakadilan menimpa dosen dari awal karir hingga mencapai puncak karier tertinggi. Mereka berpendapat bahwa hal ini dapat menyebabkan brain drain, yaitu para dosen akan keluar dari sektor pendidikan tinggi karena merasa tidak dihargai.
Para dosen muda Indonesia yang sedang menempuh studi doktoral atau S-3 di Inggris juga menilai bahwa Peraturan Menpan RB Nomor 1 Tahun 2023 akan berdampak pada karier dosen. Mereka khawatir bahwa aturan ini akan menurunkan motivasi para dosen dalam mengejar ilmu pengetahuan.
Ketua Doctrine UK, Gatot Subroto, dalam pertemuan dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, di London, Inggris, menyampaikan kekhawatiran bahwa Peraturan Menpan RB Nomor 1 Tahun 2023 dapat menimbulkan demotivasi bagi para dosen, yang berpotensi menyebabkan efek brain drain. Brain drain merujuk pada situasi di mana para ilmuwan memilih untuk menetap di luar negeri daripada mengembangkan pengetahuan di negara asal mereka, sehingga mengurangi sumber daya manusia unggul di dalam negeri.
Doctrine UK, yang merupakan organisasi yang beranggotakan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan program doktoral di Inggris, mengungkapkan bahwa 70 persen anggota organisasi tersebut adalah para dosen di Indonesia. Mereka menyoroti bahwa Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 memberikan pengakuan yang berbeda terhadap angka kredit kumulatif ijazah S-3, yang berbeda dengan aturan sebelumnya. Proses promosi jabatan fungsional dosen dalam Permenpan RB terbaru juga dianggap lebih sulit.
Selain itu, Doctrine UK juga mencatat bahwa Pasal 39 Ayat 2 Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 berpotensi menghambat para dosen untuk mencapai jabatan guru besar. Pasal tersebut menyatakan bahwa seorang dosen tidak dapat dipromosikan menjadi guru besar jika masih ada guru besar lain di bidang ilmu yang sama. Hal ini memberikan disincentive bagi para calon akademisi terbaik Indonesia untuk memilih karier sebagai akademisi.
Doctrine UK juga mengkritik penilaian kinerja pejabat fungsional dalam Permenpan RB terbaru yang mencakup unsur penilaian ekspektasi pimpinan. Unsur ini berpotensi mengarah pada bias penilaian yang lebih didasarkan pada hubungan personal daripada profesionalisme dan keahlian. Mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa hal ini dapat memicu terjadinya nepotisme dalam promosi dosen.
Dalam pertemuan tersebut, Doctrine UK menyampaikan surat berisi masukan ringkas mengenai pengembangan karier dosen kepada Menteri Nadiem. Mereka berharap bahwa aturan teknis Permenpan RB akan memprioritaskan prinsip kenaikan jabatan berdasarkan meritokrasi, tanpa adanya batasan angka kredit maksimal untuk setiap jenjang karier. Doctrine UK juga menawarkan untuk berdialog dan menyampaikan pengalaman dan praktik terbaik dalam pengelolaan dosen yang dilakukan oleh universitas di Inggris Raya.
Menanggapi hal ini, Menteri Nadiem menyatakan bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) masih sedang menggodok aturan teknis yang terkait dengan Permenpan RB Nomor 1/2023. Pihaknya juga akan menampung aspirasi dari para akademisi. Nadiem menegaskan bahwa pihaknya sedang bekerja keras untuk memastikan bahwa peraturan mengenai jabatan fungsional akan berdampak positif pada transformasi pendidikan di Indonesia. Ia juga didampingi oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Nizam, dalam pertemuan tersebut.