Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, baru-baru ini mengeluarkan kebijakan revolusioner terkait syarat kelulusan mahasiswa di Indonesia. Kebijakan ini menyatakan bahwa mahasiswa tidak lagi diwajibkan untuk menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan mereka. Dalam tanggapannya terhadap kebijakan ini, Dosen Akuntansi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih, Kurniawan Patma, mengungkapkan pandangannya.
Menurut Kurniawan, kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Nadiem ini mengonfirmasi bahwa skripsi tidak lagi dianggap sebagai syarat wajib untuk lulus. Hal ini berarti bahwa mahasiswa strata satu (S1) kini memiliki opsi untuk menyelesaikan studi mereka melalui jalur skripsi atau non-skripsi. Kurniawan menyatakan, “Skripsi selama ini terkesan hanya menjadi formalitas semata dan memiliki potensi besar untuk praktik transaksional.”
Kritik Kurniawan terhadap skripsi tidak berhenti di situ. Dia juga menyoroti bahwa penulisan skripsi tidak lagi didasarkan pada fenomena nyata dan tidak memberikan solusi yang berarti. Kurniawan juga mengungkapkan bahwa banyak kasus di mana skripsi hanya menghasilkan karya yang merupakan hasil plagiasi.
Namun, Kurniawan melihat alternatif yang ditawarkan oleh Menteri Nadiem sebagai peluang untuk memberikan nilai tambah dan dampak positif terhadap permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Dia mengusulkan bahwa syarat kelulusan selain skripsi dapat dicapai dengan mendorong mahasiswa untuk melakukan proyek lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan melalui laporan mini-research. Kurniawan menekankan pentingnya proyek ini harus ditulis dalam artikel yang singkat.
Guru Besar Sosiologi dari Universitas Cenderawasih, Ave Lefaan, juga mendukung kebijakan Menteri Nadiem. Menurutnya, skripsi, tesis, dan disertasi adalah karya ilmiah akademik yang berfokus pada aspek teoritis dalam bidang keilmuan. Di sisi lain, syarat kelulusan non-skripsi yang melibatkan pembuatan prototipe adalah upaya untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan di lapangan. Ave Lefaan menyatakan, “Ini saya setuju. Jadi ada dua kepentingan yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Yang satu untuk pengembangan keilmuan teori. Berbeda dengan pemikiran menteri, di mana seorang mahasiswa di S1, S2, dan S3 dapat memberikan karya nyata dan bisa mendapatkan pekerjaan di kemudian hari.”
Kebijakan ini mendapat sambutan positif dari sejumlah kalangan, dan banyak yang melihatnya sebagai langkah menuju pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.