Ketidakadaan alokasi anggaran untuk tunjangan profesi dan kinerja (tukin) dosen pada 2025 dalam pagu Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menuai keprihatinan. Langkah ini dianggap mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, dalam menghargai profesi dosen dan mendorong kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.
Tunjangan Dosen Ditiadakan: Dampak pada Profesionalisme
Ketiadaan anggaran ini diklaim pemerintah disebabkan oleh keterbatasan kondisi keuangan negara. Namun, alasan ini menuai kritik tajam, mengingat dosen adalah pilar utama dalam mencetak sumber daya manusia unggul yang menjadi kunci pembangunan bangsa. Tanpa tunjangan, motivasi dan profesionalisme dosen dikhawatirkan akan terpengaruh, berpotensi mengurangi kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Tunjangan profesi dosen sebenarnya merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terutama Pasal 51, yang mewajibkan pemerintah memberikan penghargaan berupa tunjangan kepada dosen bersertifikasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 40, menjamin hak tenaga pendidik untuk memperoleh penghasilan layak serta jaminan kesejahteraan. Keputusan untuk tidak mengalokasikan tunjangan ini dinilai bertentangan dengan semangat kedua regulasi tersebut.
Pendidikan Tinggi dan Kesejahteraan Dosen: Sebuah Prioritas
Pendidikan tinggi yang berkualitas tidak mungkin tercapai tanpa perhatian terhadap kesejahteraan dosen. Dalam konteks ini, pengabaian terhadap tunjangan profesi dapat berdampak jangka panjang, baik pada kinerja akademik maupun kualitas lulusan yang dihasilkan.
Langkah ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen nyata dalam membangun pendidikan tinggi yang unggul dan memastikan dosen sebagai salah satu elemen kunci mendapatkan penghargaan yang sesuai.